Al-Ittifaq merupakan pondok pesantren yang telah berusia lanjut, yakni lebih dari 73 tahun. Atas restu Kanjeng Dalem Wiranata Kusumah, Wedana Ciwidey saat itu, pesantren ini didirikan dengan nama Pesantren Ciburial pada tanggal 16 Syawal 1302 H/ 1 Pebruari 1934 M oleh KH. Mansyur, seorang ulama di Ciwidey.
Walaupun pendiriannya melalui restu pemerintahan Belanda, namun tidak sejalan dengan pandangan penjajah Belanda. Hal ini terbukti dari nasehat Kiai Mansyur agar masyarakat tidak usah menyekolahkan anaknya melainkan mengaji saja. Para santri diharamkan belajar menulis latin dan tidak diperbolehkan kenal dengan pemerintahan Belanda. Hal-hal yang berbau Belanda seperti radio, sekolah, rumah tembok, menjadi pegawai pemerintah, merupakan hal yang tabu dan larangan keras bagi masyarakat.
Dari ajaran ini kiyai mansyur dianggap kolot. Kondisi seperti itu bahkan masih terasa pengaruhnya hingga tahun 1980-an. Saat itu, ketika Kiai Fuad (cucu KH. Mansyur) bermaksud merenovasi bangunan masjid, dan bilik bambu menjadi bangunan permanen tembok agar dapat menampung jama’ah salat Jum’at lebih banyak.
Namun, ia ditentang keras oleh masyarakat. Berbagai tuduhan ditudingkan kepada dirinya sebagai perusak tradisi. Dalam suasana demikian, sistem pendidikan di Pesantren Ciburial hanya terbatas pada pola pendidikan tradisional yaitu model sorogan. Santri-santrinya hanyalah masyarakat sekitar Ciburial yang berjumlah antara 10 hingga 30 orang dan yang mondok hanya sepertiganya. Kepemimipinan KH. Mansyur berlangsung sampai tahun 1953.
Pada tahun tersebut, kepemimpinan diberikan kepada putranya, yaitu H. Rifai. Di bawah kepemimpinan H. Rifai, perkembangan Pesantren Ciburial tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, berjalan dalam suasana tradisional dan kolot. Menurut KH. Fuad Affandi, perkembangan pesantren dibawah ayahnya, justru menurun. H. Rifai tergolong pendidik yang keras. Tradisi keningratan diterapkan secara ketat. Setiap orang yang bertemu di jalan, misalnya, harus membungkukkan badannya. Kondisi ini membuat jumlah santri semakin menyusut. Kondisi ini berlangsung kurang lebih 17 tahun hingga tahun 1970, sampai putranya, Fuad Affandi, menyelesaikan pelajarannya di Pondok Pesantren Lasetu, Jawa Tengah.
Pada tahun 1970 inilah KH. Fuad Affandi, yang saat itu berusia 22 tahun mulai memimpin pesantren ini. Sesuai dengan jiwa mudanya, Kiai Fuad melakukan beberapa kebijakan baru.
Pertama, ia memberi nama Al-Ittifaq pada pesantren yang dipimpinnya. Nama ini berarti kesepakatan atau kerjasama yang bertujuan agar semua yang ada dalam naungan pesantren dapat melakukan kerja sama yang baik, atau sama-sama bekerja dengan baik.
Kedua, melakukan reorientasi terhadap prinsip-prinsip dan kebijakan pesantren selama dua periode kepemimpinan sebelumnya.
Ketiga, menjadikan AI-Ittifaq sebagai pesantren khusus bagi orang orang yang tidak mampu atau yatim piatu.
Keempat, merintis kegiatan-kegiatan ekonomi produktif, terutama sektor pertanian, dengan tujuan agar pesantren dapat mandiri dalam membiayai kegiatan belajarnya.
Pada masa KH. Fuad, Pesantren Al-Ittifaq mengalami kemajuan yang pesat, dapat terlihat pada Jumlah santri meningkat menjadi 326 orang ( 256 putra dan 70 putri ) dengan jumlah ustadz sebanyak 14 orang. Lahan yang diusahakan berkembang pesat, dari hanya 400 m2, kini telah menjadi 14 hektar. Tiga unit bangunan asrama putra dan putri. Perkembangan kelembagaan agrobisnis, seperti kelompok tani sebanyak 5 kelompok, koperasi pondok pesantren, balai mandiri
0 Response to "Sejarah Pondok Pesantren Al-Ittifaq"
Posting Komentar